Program Makan Bergizi Gratis: Apakah Tepat Sasaran Menuju Indonesia Emas 2045?

Dengan terpilihnya Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia ke-8, salah satu program unggulan mereka sejak masa kampanye mulai dijalankan: Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini bertujuan memberikan makanan bergizi kepada anak-anak sekolah di seluruh Indonesia.

 

Yang pengen gue bahas adalah: Apa benar makan bergizi gratis bisa berdampak besar buat kemajuan bangsa ini? Bukannya itu cuma makan siang sekali sehari. Masa iya cuma dari sekotak bekal makan siang, nasib bangsa bisa berubah?

 

Namun sebelum lebih jauh kesitu, kita lihat dulu beberapa sisi positif dan negatif yang timbul dari Program Makan Bergizi Gratis ini. 

 

(Sumber foto : Markus Winkler/Unsplash) 


Sisi Positif Program MBG

Di atas kertas, program ini terlihat menjanjikan. Ini beberapa kabar baik yang muncul:

  • Orang tua bisa hemat uang dapur, nggak perlu repot bawain bekal ke sekolah.

  • Pelaku usaha katering terbantu. Program masif ini otomatis menciptakan pasar tetap buat penyedia makanan.

  • Efek domino ke pasar tradisional. Pasokan bahan makanan dari pasar lokal meningkat karena kebutuhan katering yang tinggi.

     

Beberapa kasus yang muncul dari program MBG:

Sayangnya, pelaksanaannya nggak semulus imajinasi. Berikut beberapa kasus atau keluhan yang muncul di permukaan.

  • Kualitas makanan buruk. Ada laporan makanan basi, tak layak konsumsi, bahkan berbahaya. Program pemerintah yang seharusnya membantu, malah bisa mencelakakan.

  • Katering nggak dibayar tepat waktu. Ada yang mengeluh hingga bangkrut gara-gara tunggakan pembayaran.

  • Menyedot APBN besar. Tahun 2025, program MBG menghabiskan Rp171 triliun, angka fantastis untuk program yang hasilnya belum teruji. 

 

Mungkinkah Makan Siang Bisa Merubah Nasib Bangsa?

Kita coba berpikir positif dulu. Anggap saja semua makanan MBG kualitasnya bagus: gizinya lengkap dan kebersihannya terjaga. Kira-kira skenario terbaiknya akan seperti ini, menurut gue ya

  • Anak-anak kenyang, bisa belajar dengan tenang.

  • Orang tua bisa sedikit lebih hemat.

  • Nilai rapor naik, motivasi belajar meningkat.

  • Mungkin bisa menabung untuk biaya pendidikan anak ke jenjang lebih tinggi. 

Kedengarannya indah, ya?

Tapi... nggak usah terlalu naif lah.

 

 

Realita di Lapangan: Masalahnya Jauh Lebih Dalam

Coba deh jalan di perkampungan jam 8 malam. Liat anak-anak kecil masih lari-larian sambil bawa es cekek, teriak-teriak ngatain temennya "anjing, babi, monyet".

Besoknya mereka mungkin dapet makan siang gratis di sekolah. Kan jadi bertolak belakang dengan best scenario yang indah itu kan?

Masalah utama bukan cuma soal gizi. Tapi soal lingkunganpola asuh, pendidikan, dan masih banyak yang lain. Gue bukan ahlinya.

Di kalangan masyarakat miskin, banyak orang tua sudah nggak terlalu peduli dengan pendidikan anaknya. Ada yang masih semangat, tapi mayoritas sudah pasrah—anggapannya, anak mereka ya bakal hidup gitu-gitu aja, kurang lebih sama kayak mereka lah.

Bahkan kalau dikasih makan tiga kali sehari gratis pun, nggak bakal otomatis mengubah masa depan mereka kalau nggak dibarengin dengan reformasi sosial dan pendidikan yang lebih luas.

 

 

Indonesia Butuh Gebrakan, Bukan Gimmick

Kita semua ingin Indonesia Emas 2045 tercapai. Tapi pertanyaannya: ini jalan yang benar atau cuma jalan pintas yang mahal?

Kalau negara-negara lain bisa sukses lewat program makan bergizi, itu karena sistem pendukungnya kuat: pendidikan disiplin, kontrol kualitas ketat, dan masyarakat yang siap berubah.

Di sini? Masih banyak yang ngeluh duit katering belum cair, makanan basi, APBN jebol, kontrol kualitas nol besar. Kalau nggak ada kontrol dan perbaikan sistemik, program ini cuma jadi proyek pemborosan raksasa.

 

 

Penutup

Gue nggak anti sama niat baik pemerintah. Tapi gue juga nggak mau tutup mata. MBG bisa jadi punya manfaat, tapi gak bisa jalan sendiri. Gak bisa solo.

Harus ada program kuat lain yang menjadi pendamping dan yang menjadi concern utama gw adalah dari sisi lingkungan dan sosial. Kalau nggak ya program ini akan jadi program buang-buang duit pajak rakyat aja.


Mending dana triliunan itu dialokasikan ke infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan jangka panjang yang benar-benar berdampak.


Salam.

0 Reviews:

Posting Komentar

-->

SEDANG RAMAI DIBACA:

Arsip Blog